Selamat Datang ---- Welcome to My Blog

“ Jika engkau mencintai seseorang, cintailah dia sekedarnya saja. Karena engkau tidak tahu kapan cinta itu akan lenyap darimu. Jika engkau membenci seseorang, bencilah dia sekedarnya saja. Karena engkau tidak tahu kapan engkau akan bakal mencintainya. “

( HR. Bukhari, Abu Dawud, Tirmidzi & Ibnu Majah dari Abu Hurairah )

Jumat, 24 September 2010

Cerita Cinta Sang Pejuang



Nama Salman Al Farisi tak asing lagi dalam deretan para pejuang dan pembela agama Allah. Ketakwaannya pun disegani di antara kaum muslimin. Keimananya yang begitu mendalam bahwa hanya Allah yang Maha Besar, sementara yang lain begitu kecil di hadapannya. Demikian juga sikapnya menghadapi masalah-masalah yang bersifat keduniaan, termasuk urusan cinta.

Dikisahkan, Salman Al Farisi hendak melamar seorang gadis. Sebagai manusia biasa yang memiliki fitrah cinta, ia jatuh hati pada seorang muslimah shalihah asli penduduk kota Madinah. Maksud suci ini kemudian ia sampaikan kepada Abu Darda’, seorang saudara yang dipertemukan atas nama aqidah.

Abu Darda’ bahagia menyambut keinginan Salman. Ia bergegas mengantarkan saudaranya ini untuk menemui wali dari sang gadis.

“Perkenalkan Saya adalah Abu Darda’, dan ini adalah saudara saya Salman yang berasal dari Parsi. Allah telah memuliakannya dengan Islam dan dia juga telah memuliakan Islam dengan amal dan jihadnya. Dia memiliki kedudukan yang utama di sisi Rasulullah, bahkan ia diberi kehormatan sebagai ahlul bait-nya. Saya datang untuk mewakili saudara saya ini melamar putri Anda,” ucap Abu Darda’ menyampaikan maksud dan tujuan.

Lamaran itu bersambut, “Kami merasa mendapatkan kehormatan menerima tamu dua sahabat Rasulullah yang mulia. Menjadi kehormatan pula bagi keluarga kami jika dapat memiliki seorang menantu dari salah satu sahabat Rasul yang agung. Akan tetapi, kami serahkan sepenuhnya jawaban dari lamaran ini pada putri kami.”

Setelah berdiskus, Ibu dari sang putri pilihan Salman itu mewakili untuk menjawab. “Mohon maaf sebelumnya jika apa yang kami sampaikan kurang berkenan. Dengan tetap mengharap ridha Allah, putri kami menolak lamaran Salman,” jawab sang Ibu.

Belum lagi Salman merespon jawaban itu, Sang Ibu melanjutkan perkataannya. “Akan tetapi, jika Abu Darda’ mempunyai niat yang sama untuk melamar putri kami, maka kami akan menerimanya,” katanya sang ibu.

Wajar bila Salman kecewa. Kekecewaan yang berlipat. Karena tak hanya niat mempersunting sang putri ditolak, namun kenyataannya justru saudara yang diajak membantu melamar malah yang dikehendaki untuk menikahi sang putri. Kebesaran hati Salman sedang diuji.

”Allahu Akbar!” ujar Salman mencuba meluapkan isi hatinya.

”Semua mahar dan nafkah yang kupersiapkan ini akan aku serahkan pada Abu Darda’, dan aku akan menjadi saksi pernikahan kalian,” lanjutnya tanpa ragu.

Menakjubkan. Kekecewaan Salman berujung keikhlasan tiada tara. Salman Al Farisi dengan ketakwaannya yang memuncak memberikan pelajaran tentang sebentuk kesedaran. Kesedaran bahwa cinta yang diinginkan tak selalu bisa dimiliki. Kesedaran tentang bagaimana semestinya menyingkapi rasa cinta yang Allah hendaki untuk kita.

Salman telah mengajarkan, sebagai pejuang, kita harus menjadi majikan cinta, bukan budaknya. Kita harus mampu mengendalikan nafsu dan perasaan, bukan dikendalikannya. Sungguh indah bila mana cinta dan nafsu itu ditunggang dengan keimanan yang tiada taranya kepada Allah dan Rasulnya.

Dan semoga kita bisa, mendapatkan yang terbaik, dipilih Allah untuk menjadi teman di dunia untuk berjuang dalam agamanya dan akhirat menjadi ketua bidadari bagi seorang lelaki penghuni syurga.


Semoga bermanfaat.

Wallahu a'lam bish shawab

Tidak ada komentar:

Posting Komentar